Senin, 09 November 2015

Aku Takut Mati



"Kenapa ya, kok aku tambah takut menghadapi kematian?" seorang rekan kerja bertanya pada saya dengan wajah sendu tak berseri. Pertanyaan yang jawabannya pun bisa jadi akan sama hasilnya jika saya harus jawab saat itu juga.

Kata "mati" bagi kebanyakan orang memang menakutkan, termasuk saya tentunya. Banyak hal yang membuat manusia takut mati. Takut, karena merasa dosanya banyak dan belum diampuni oleh Tuhan. Atau menurut rekan saya tadi, ia takut mati karena merasa belum punya cukup bekal untuk menghadapi perjalanan kematian ini.

Dalam versi saya, ketakutan saya mungkin lebih banyak lagi. Kalau saya mati saya takut bagaimana dengan kehidupan anak saya yang masih kecil ini kelak. Kalau saya mati saya pun kurang yakin suami saya akan mampu membesarkan anak saya dengan baik - bukan tidak percaya pada suami tetapi saya yakin anak saya akan lebih baik di dalam pengasuhan saya, ibunya. Atau saya sendiri juga takut bahwa kematian itu menyakitkan. Kematian itu sebuah kekalahan, dan segudang ketakutan-ketakutan lain.

Menurut rekan saya ini, ketakutan akan kematian ini timbul justru disaat ia mulai belajar mendalami agama. Ia mulai belajar mengaji dengan mengundang seorang ustadzah ke rumahnya. Entah mengapa, menurutnya ia semakin takut akan kematian. Semakin ia mengenal agama, semakin takutlah ia akan kematian. Apalagi ketika ustadzahnya bilang jika kita mengaji dan bacaannya salah itu adalah dosa, tetapi jika niatnya belajar maka itu tidak apa-apa, yang penting niatnya belajar, begitu bu ustadzah menerangkan. 

"Aku takut bacaan ngajiku selama ini salah, setelah shalat biasanya aku sempetin mengaji, bagaimana kalau bacaanku salah ya?" katanya lagi.  
"Tapi kan kamu masih dalam tahap belajar, pastinya waktu kamu ngaji juga tujuannya belajar mengaji," jawabku.

Takut akan kematian mungkin tidaklah buruk jika ditindaklanjuti dengan hal positif. Misalnya saja sekarang ia jadi lebih getol beribadah. Shalat lima waktu tidak bolong-bolong, lebih rajin mengaji, rajin shalat dhuha dan perilakunya lebih lemah lembut. Ini adalah sesuatu yang lebih baik tentunya. Dan itu artinya naik kelas.

Dan, bagaimana dengan saya sendiri?

Seharusnya ketakutan ini membuat saya jauh lebih bertekun lagi di dalam iman. Saya yang seorang christiani ini masih jauh dari yang namanya bertekun dalam iman. Saya teringat ketika saya kecil dan remaja, ketekunan iman saya jauh lebih baik dari sekarang. Sedang sekarang?

Saya seperti domba yang lari dari kawanan dombanya. Mencari makanannya sendiri, berjalan bahkan berlari dari Sang Gembala. Saya seperti si anak domba yang penasaran ingin menjelajahi dunia lain di luar dari lapangan hijau yang sudah disediakan bahkan dipilihkan Sang Gembala bagi domba-domba peliharaannya. Saya terbuai dengan pengembaraan saya yang saya anggap hebat meski tanpa kawalan Sang Gembala. 

Tetapi, dalam pengembaraan itu ada rasa takut yang selalu menyelimuti diri. Saya takut jika diperjalanan ini saya menemukan jurang terjal kehidupan. Kemana saya bisa mencari perlindungan? Di mana saya bisa mendapatkan rasa aman?

Ketika saya menjauhi Sang Gembala ketakutan itu ada.

Tetapi ketika saya bersama Sang Gembala ada rasa aman dan damai. Saya tahu, ketika saya kesulitan melewati jurang terjal kehidupan ada tangan kokoh yang menopang dan menggendong saya melewati jurang terjal tersebut. 

Saya takut mati, dan juga takut hidup. 

Saya takut akan masa depan keluarga saya. Andai saya dan suami sudah tidak bekerja bagaimana dengan keluarga kecil saya ini? Terutama dengan anak gadis kecil kami. Apakah saya masih bisa menyekolahkannya dengan baik sampai ke jenjang terbaik? Dari mana saya bisa mendapat sumber penghasilan jika saya sudah tidak bekerja lagi, sedang anak saya masih memerlukan biaya sekolah 

Itu adalah ketakutan besar hidup saya!

Dalam ketakutan saya jadi lupa bahwa saya punya Tuhan. Tuhan yang selalu ada untuk saya. Ia Gembala yang baik. Tak akan saya kekurangan. 

Saya jadi teringat sebuah lagu rohani yang menyejukan hati saya...

Tuhan adalah Gembalaku
Takkan kekurangan aku
Ia membaringkan aku
Di padang yang berumput hijau

Ia membimbingku ke air yang tenang
Ia menyegarkan jiwaku
Ia menuntunku di jalan yang benar
Oleh kar'na namaNya
Sekalipun aku berjalan
Dalam lembah kekelaman

Aku tidak takut bahaya
Sebab Engkau besertaku
GadaMu dan tongkatMu
Itulah yang menghibur aku

Ia membimbingku ke air yang tenang
Ia menyegarkan jiwaku
Ia menuntunku di jalan yang benar
Oleh kar'na namaNya
Sekalipun aku berjalan
Dalam lembah kekelaman

Sebab aku akan diam dalam
Rumah Tuhan sepanjang masa 

Dan sebuah ayat yang menguatkan iman

"Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur."

Ya, itu adalah pengharapan bagi umat pilihannya. Ini sumber kekuatan dan penghiburan. Dalam segala hal, kita hanya perlu berdoa dan berpengharapan pada Sang Sumber hidup, Allah itu sendiri.

Meski nilai raport keimanan saya sungguh jelek bahkan merosot tajam, saya percaya Tuhan tak kan pernah meninggalkan saya. Saya tak perlu khawatir dan takut dalam hal apa pun juga, karena saya percaya pada janjinya bahwa ia tidak pernah meninggalkan umatnya.

Sekarang yang harus saya lakukan adalah memperbaiki nilai keimanan saya padaNya, dengan selalu takut akan Tuhan. Bukan takut mati, apalagi takut hidup. 

Sebab bagiku, hidup Christus mati untung. 


Salam,
Auntie 'eMDi '  Dazzling





Tidak ada komentar:

Posting Komentar